Rabu, 30 Mei 2012

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI INDONESIA


PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU
DI INDONESIA
Oleh : Wa Ode Astriyani Sari K.

ABSTRAK
Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki tubuh besar dibandingkan dengan ternak sapi. berdasarkan bangsanya terdiri dari dua bangsa yaitu kerbau lumpur dan kerbau sungai. pada umumnya ternak kerbau dipelihara secara tradisional. Di Indonesia terdapat 2,5 juta ekor kerbau yang tersebar di beberapa daerah propinsi. Populasi kerbau di Indonesia cukup memprihatinkan yaitu di tandai dengan menurunnya jumlah populasi ternak mulai tahun 90-an hingga sekarang. pada tahun 2000-2008 jumlah ternak cenderung menurun 8,85 % dengan rataan tingkat penurunan 1,03% per tahun. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh sebagian besar peternak yang tujuan beternaknya tidak jelas, penerapan teknologi yang rendah, tidak adanya bibit jantan unggul, sistem pemeliharaan tradisional tanpa ada perawatan, dari segi aspek reproduksi yang lambat (lama birahi, masa bunting 10 bulan 10 hari, masa pencapaian dewasa kelamin, birahi tenang sehingga tidak mudah dideteksi) dan pemebrian pakan yang kurang bernutrisi dan tidak ada pengontrolan.  Dari hal itu, maka sangat perlu upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mempertahankan/melestarikan dan melindungi populasi ternak tersebut diantaranya: 1) peningkatan mutu genetik ternak melalui sistem grading up, 2) revitalisasi dan pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat melalui penataan kelompok, 3) pelaksanaan biosekiriti secara tetap terutama pada kawasan perbibitan, 4) mengadakan sosialisasi di desa terutam terhadap peternak, 5) menambah jumlah ternak pada setiap peternak.

kata kunci : kerbau, populasi, pengembangan,upaya perbaikan produksi.









I.  PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan yang teramat luas, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Kekayaan yang belum tentu dimiliki oleh neegara lain ini perlu dilestarikan agar tidak punah. Salah satu keanekaragaman hayati yang perlu mendapat perhatian khusus, karena populasinya yang cenderung menurun setiap tahun adalah kerbau.
Kerbau (Babalus bubalis) mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan sapi karena mampu hidup dikawasan yang relatif sulit, lebih-lebih bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah (Herianti et all., 2009).
 Ternak kerbau mempunyai potensi selain sumber tenaga kerja, juga berperan penting dalam penyediaan daging, susu, dan pupuk. Peran penting ternak kerbau semakin strategis pada daerah-daeran tertentu di Indonesia. Di Toraja (SULSEL) ternak kerbau dijadikan sebagai ternak pelengkap pada acara sosial keagamaan. Di beberapa daerah seperti kabupaten Blora dan Banten, preferensi daging kerbau lebih tinggi dimana masyarakat lebih suka mengkonsumsi daging kerbau. Lebih dari 90% dengan sistem pemeliharaan tradisional pada skala pemilikan 2-3 ekor per rumah tangga peternak.
Secara umum populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 1925 menurut Wiryosuhanto (1980) dalam Praharani L. at all. (2009) dengan laju penurunan yang semakin besar. Berdasarkan data statistik  populasi dari DITJENAK (2008), sejak tahun 2000 sampai 2008 populasi ternak kerbau tidak meningkat dan cenderung menurun 8,85% dengan rataan tingkat penurunan sebesar 1,03% per tahun selama kurun waktu delapan tahun. Penurunan populasi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain rendahnya produktivitas ternak kerbau, masih tingginya angka kematian ternak, dan pemotongan betina produktif dimana angka pemotongan betina produktif mencapai 71,77% seperti yang dilaporkan di Nusa Tenggara Barat (Muthalib, 2006 dalam Praharani L. at all., 2009).
Lanjut dari Putu et all., (1994) dalam Utomo et all., (2009) menyatakan bahwa penyebab rendahnya produktivitas kerbau adalah sifat dari ternak yang pertumbuhannya lambat, durasi periode birahi kembali panjang, masa kebuntingannya lama (lebih panjang dari sapi) dan timbulnya  gejala birahi yang sulit di deteksi. Di samping itu disebabkan oleh terbatasnya bibit unggul, rendahnya kualitas pakan, kurangnya modal, dan rendahnya pengetahuan petani terhadap reproduksi kerbau.

B.  Rumusan Masalah
            Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
         1.         Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan pengembangan ternak kerbau di Indonesia menurun.
         2.         Upaya-upaya atau solusi apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi ternak kerbau di Indonesia.



II.  PEMBAHASAN
A.  Potensi Ternak Kerbau
            Pada dasarnya ternak kerbau memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap peternak yaitu daging, susu, pupuk, tenaga kerja, dan lain sebagainya. Berdasarkan bangsanya terdiri dari kerbau lumpur dan kerbau sungai.  Banyak laporan yang telah mengumukakan hasil penelitian mengenai kemampuan produksi ternak kerbau. Kerbau mempunyai beberapa keunggulan untuk ditingkatkan perannya terutama berkaitan dengan potensi genetik dan aspek lingkungannya. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, terlihat dari penyebarannya yang luas, mulai dari iklim kering, lahan rawa, daerah pegunungan, dan daerah dataran rendah.

Sistem pemeliharaan kerbau relatif lebih mudah. Dalam usaha peternakan rakyat, kerbau dipelihara secara ekstensif terutama di daerah pantai, dimana pemeliharaan kerbau umumnya digembalakan. Ada dua tipe utama kerbau yakni kerbau lumpur dan kerbau sungai yang dimana masing-masing mempunyai beberapa perbedaan baik fenotipe, karyotipe dan mitokondria DNA (FAO, 2007 dalam Hasinah 2009).


B.  Gambaran Peternakan Kerbau Di Indonesia
Di Indonesia populasi kerbau sebanyak 2,5 juta ekor yang mayoritasnya adalah kerbau lumpur, disamping kerbau sungai/Murrah, Nili-Ravi dan Javar Abadi dalam jumlah yang dapat dikatakan sedikit di Sumatera Utara. Bangsa – bangsa kerbau ini dimasukkan ke Indonesia pada abad 19 dari Punjab – India, dan dipelihara oleh masyarakat keturunan India sebagai penghasil susu. Tetapi, populasinya tidak banyak meningkat karena faktor reproduksi dan intensitas inbreeding yang diduga tinggi.
Menurut Ridhwan A.B Talib dan Chali Talib (2007) menyatakan bahwa sekitar 90% populasi ternak kerbau di Indonesia terkonsentrasi di 12 propinsi yaitu Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung dan Sumatera Selatan. Di 12 propinsi ini juga hidup mayoritas sapi potong di Indonesia. Akan tetapi ternak kerbau merupakan ternak yang mungkin paling sedikit diteliti dan didayagunakan di Indonesia.

Tabel 1. Sepuluh provinsi di Indonesia dengan jumlah kerbau terbanyak
Provinsi
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
Nanggroe Aceh Darussalam
409,071
338,272
371,143
390,334
280,662
Sumatera Utara
263,435
259,672
261,794
189,167
155,341
Sumatera Barat
322,692
201,421
211,531
192,148
196,854
Sumatera Selatan
86,528
90,300
86,777
90,160
77,271
Banten
139,707
135,041
146,453
144,944
153,004
Jawa Barat
149,960
148,003
149,444
149,030
145,847
Jawa Tengah
122,482
123,815
112,963
109,004
102,591
NTB
156,792
154,919
155,166
153,822
161,450
NTT
136,966
139,592
142,257
144,981
148,772
Sulawesi Selatan
161,504
124,760
129,565
120,003
130,109
Sumber :
http;www.ditjennak.go.id/basisdataproses.asp?yhn1=2004&thn2=2008&jt=kerbau&button=submit&rep=2&ket=populasi+nasional+%28per+provinsi%29+

Perkembangan produksi ternak kerbau di Indonesia sangat lambat yang disebabkan oleh banyak faktor penyebab. Salah satunya adalah efisiensi reproduksi yang rendah jika dibandingkan dengan ternak sapi, seperti tingkat kebuntingan yang rendah, lama bunting (11 bulan) dan juga interval generasi yang lebih panjang. Upaya meningkatkan produktivitas ternak kerbau menjadi hal yang sangat penting, bukan saja karena nilai budayanya yang sangat tinggi dalam peradaban  sebagian masyarakat Indonesia (suku Toraja, Sumba, Flores dan Batak) yang menyebabkan harga ternak kerbau lebih mahal dibanding sapi potong, sehingga ternak kerbau sangat perlu untuk dikembangbiakan.

C.  Masalah Peternakan Kerbau Di Indonesia
Masalah utama peternakan ruminansia (bukan hanya ternak kerbau) di Indonesia yang paling konservatif/tradisional hingga kini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap potensi ternak itu sendiri dan alam (sedikit sekali campur tangan manusia). Diduga telah terjadi intensitas inbreeding yang tinggi pada kerbau Sungai (Situmorang et al.,1990 dalam Ridhwan, at all., 2007) dan mungkin juga pada kerbau Lumpur.
Pertimbangan ekonomi masih jauh dari pertimbangan peternak kerbau yang ada hanya: pelihara - menjadi besar - butuh uang - jual, selesai. Penerapan teknologi dalam pemeliharaan kerbau terbatas sekali karena masih rendahnya orientasi ekonomi peternak. Sementara itu, ternak kerbau kebanyakan hanya digunakan sebagai ternak kerja di wilayah persawahan, sebab itu jarak beranak menjadi cukup panjang, akibatnya kontribusinya sebagai penghasil daging rendah. Sebagai informasi tambahan, di Vietnam, ternak kerbau menyumbang 35% dari total produksi daging nasional (DAO, 2000 dalam Ridhwan, et all., 2007).
Ternak kerbau dipelihara dengan cara yang lebih tradisional daripada ternak sapi, sehingga produktivitasnya menjadi lebih rendah. Padahal secara potensial ternak kerbau memiliki potensi sebagai penghasil susu, daging dan kerja yang tidak kalah daripada ternak sapi. Semua potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, karena masih adanya pendapat bahwa produktivitas ternak kerbau lebih rendah dari ternak sapi. Oleh karena itu, ke depan sudah waktunya memperlakukan ternak kerbau setara dengan perlakuan yang diberikan terhadap ternak sapi.
Masalah lain yang tidak dapat dihindari adalah globalisasi dan pasar bebas yang harus dihadapi dengan program yang baik dan tertata dalam kerangka besar agribisnis nasional yang tangguh.
Lebih lanjut di kemukakan oleh Sulaeman (2010) bahwa faktor penyebab menurunnya populasi kerbau di indonesia tidak berbeda jauh dengan di negara-negara asia lainnya. Penurunan produktivitas kerbau disebabkan faktor internal dan faktor eksternal.
1.      Faktor internal
Faktor internal ditentukan oleh sifat atau karakteristik dari suatu jenis ternak. Pada kerbau sifat internal yang berpengaruh terhadap kendala peningkatan populasi adalah:
Ø   Masak lambat
Kerbau termasuk hewan yang lambat dalam mencapai dewasa kelamin (Subiyanto, 2010). Pada umumnya kerbau mencapai pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga kerbau mencapai dewasa kelamin pada usia minimal 3 tahun (Toilehere,1985) 2-3 tahun (Lendhanie, 2005); 2-2,5 (Subiyanto, 2010).
Ø  Lama bunting
Kerbau akan mengandung anaknya selama 10,5 bulan, sedangkan sapi hanya 9 bulan. Menurut Keman (2006) lama bunting pada kerbau bervariasi dari 300-344 hari (rata-rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari. Dikemukakan pula oleh Hill (1998) bahwa lama bunting pada kerbau lebih lama dan lebih bervariasi. Untuk kerbau kerja, lama buntuing kerbau mesir bervarisi 325-330 hari. Hasil penelitian Landhanie (2005) di Desa Sapala, kecamatan Danau Panggang lama bunting kerbau rawa mencapai 1 tahun.
Ø  Berahi tenang
Tanda-tanda berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan paa pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini  bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
Ø  Waktu berahi
Umumnya berahi pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai agak malam den menjelang pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001). Menurut Hill (1988) tanda-tanda berahi da kativitas perkawinan pada jkerbau mesir pada umumnya terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di Indonesian sedang berada dalam kandang yang tertutup yang tidak memungkinkan terjadinya perkawinan.
Ø  Jarak beranak yang panjang
Jarak beranak yang panjang merupakan implikasi dari sifat-sifat reproduksi lainnya. Pada  kerbau keerja jarak beranak bervariasi dari 350-800 haru dengan rata-rata 553 hari (Keman, 2006). Menurut Hill (1988) jarak beranak pada kerbau bervariasi  dari 334-650 hari. Tyergantung pada manajemen yang dilakukan. Menurut Ladhanie (2005) jaerak beranaka pada kerbau rawa antara 18-24 bulan.
Ø  Beranak pertama
Panjang sifat-sifat produksi lain akan berpengaruh langsung terhadap beranak pertama pada kerbau. Hasil survei di Indonesia terutama si NAD< Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, NTB dan Dulaweisi Selatan, umur pertama kali beranak masing-masing 45,0; 49,6; 47,7; 49,1; 45,6 dan 49,2 bulan denga rata-rata 47,7 bulan (Anonimus, 1985 yang dikutip oleh Keman, 2006), sementara itu di Brebes, Pemalang, semarang dan Pati rata-rata umur pertama kali8 beranak, berturut-turut adalah 44, 40, 44, dan 42 bulan (Suryanto, et  al.2002 yang dikutip Keman 2006).
Ø  Faktor eksternal
Diantar faktor eksternal, ada yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi dan ada yang tidak berpengaruh langsung. Reproduksi adalah suatu proses yang rumit pada semua spesies hewan. Rumit karena reproduksi tergantung Pada fungsi yang sempurna proses-proses biokimia dari sebagian besar alat tubuh. Uvilasi, berahi, kebuntingan, kelahiran dan laktasi, itu semua tergntung dari fungsi yang sempurna dari berbagai hormon dan alat tubuh. Setiap abnormalitas dalam anatomi dan fisiologi dari alat reproduksi berakibat fertilitas menurun atau dapat menyebabkan sterilitas. (Anggorodi, 1979).

2.      Faktor eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi adalah ;
Ø  Pakan
Kontribusi pakan sangat kuat pengaruhnya terhadap performa reproduksi. Makanan berperan penting dalam perkembangan umum dari tubuh dan reproduktif (Tillman, et al., 1983).
Peternak kerrbau di negara kita pada dasarnya merupakan peternak tradisional dan merupakan kegiatan yang turun menurun sehingga pemberian pakan umumnya didapat pada saat digembalakan. Rumput yang tumbuh di lapangan, di pematang sawahn atau pinggir-pinggir jalan adalah pakan yang tersedia pada saat digembalakan.
Pakan yang diberikan di kandang pada umumnya jerami kering yang kadang-kadang disiram larutan garam dapur. Pada musim kemarau ketersediaan rumpur alam akan sangat menurun jumlahnya dan secara langsung akan berpengaruh langsung terhadap asupan pakan pada ternak. Pakan dengan kualitas dan kuantitas seperti ini akan berpengaruh tidak baik terhadap performa reproduksi. Diperparah lagi oleh tugan yang harus dilakukan pada saat musim mengolah sawah. Meskipun salah satu keunggulan kerbau adalah mampu memamfaatkan pakan dengan kualitas rendah, namun untuk mendapatkan performa reproduksi yang baik memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas.
Ø  Sosial budaya
Beberapa di daerah di Indonesia yang secara sosial budaya berkaitan dengan kerbau menunjukkan populasi kerbau yang tinggi. Keterkaitannya bisa berupa  dalam adat istiadat atau kebutuhan tenaga kerja. NTB, Sumatera Barat, Sumatera  Utara, Sulawesi Selatan keterkaitannya lebih pada adat istiadat yang turun temurun. Di Sumatera Barat, kerbau mempunyai arti sosial yang sangat khas.
Rumah adat dan perkantoran pemerintah mempunyai bentuk atap yang melengkung yang melambangkan bentuk tanduk  kerbau. Diduga kata “minangkabau” berasal dari “menang kerbau” (Hardjosubroto, 2006). Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian sepeti saur matua dan mangokal hili. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau juga dilakukan pada saat upacara perkawinan, horha bius (acara penghormatan terhadap leluhur, dan pendiri rumah adat (Susilowati, 2008).

D.  Upaya-Upaya Untuk Pengembangan Populasi Ternak Kerbau
          Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi kerbau rawa maupun sungai secara berkelanjutan secara umum yaitu dengan melakukan perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan ternak kerbau, yang meliputi: 1) peningkatan mutu genetik melalui grading up, 2) revitalisasi dan pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat melalui penataan kelompok, dan 3) pelaksanaan biosekuriti secara tepat terutama pada kawasan perbibitan.
Pengadaan dan pengembangan bibit kerbau dilakukan melalui seleksi dan afkir atau culling secara sistematis, dan menyebarluaskan bibit unggul hasil kajian dan telah memperoleh justifikasi dari lembaga berwenang, baik di pusat maupun daerah. Program pemuliabiakan untuk memperoleh bibit unggul dilakukan melalui: 1) seleksi peningkatan populasi dan produktivitas, 2) persilangan secara sistematis dan terarah, dan 3) program pencatatan atau recording system terutama di lokasi yang diarahkan untuk pembibitan dan sertifikasi bibit (Toelihere dan Achyadi 2005).
Selain upaya pemacu diatas juga sebaiknya perlu diadakan sosialisasi kepada peternak kerbau bahwa pemberian input bagi ternak kerbau merupakan suatu invetasi yang dapat memberri keuntungan. Salah satu usaha perlu dijalankan adalah melakukan tindakan reward kepada pemilik kerbau melalui kontes ternak kerbau, sehingga mendorong untuk memiliki kerbau yang baik pada skala nasional maupun regional. Dengan demikian harga jual kerbau meningkat.


III.  PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka dapat dismpulkan bahwa :
1)      Ternak kerbau sangat potensial untuk dikembangkan untuk mendukung program kecukupan daging khususnya di Indonesia mengingat pentingnya gizi untuk tubuh manusia.
2)      Masalah-masalah yang menyebabkan pengembangan ternak Kerbau di Indonesia menurun adalah tujuan pemeliharaan yang dilakukan peternak tidak jelas, pemeliharaan secara tradisional, aspek reproduksi yang rendah atau lambat (masak lambat, lama birahi, umur kebuntingan, jarak antar beranak, umur kawin, dsb.), aspek eksternal seperti pemberian pakan yang tidak di control, inbreeding.
3)      Upaya atau inovasi yang harus dilakukan untuk mengkatkan populasi ternak kerbau di Indonesia khususnya adalah melakukan perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan ternak kerbau, yang meliputi: 1) peningkatan mutu genetik melalui grading up, 2) revitalisasi dan pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat melalui penataan kelompok, dan 3) pelaksanaan biosekuriti secara tepat terutama pada kawasan perbibitan. Selain itu juga perlu diadakan sosialisasi kepada para peternak kerbau bahwa kerrbau merrupakan investasi yang menguntungkan di masa depan.


DAFTAR PUSTAKA
Bustami dan Susilawati E., 2007. Sistem Pemeliharaan Ternak Kerbau Di Propinsi Jambi. ProsidingLokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi.

Hamdan, A., E.S. Rohaeni, dan A. Subhan. 2006. Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. hlm.170−177. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan Direktorat

Ridwan A. B. Thalib dan Chali Talib, 2008.  Peran dan Ketersediaan Teknologi Pengembangan Kerbau Di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Sulaeman, 2010. Percepatan Peningkatan Populasi dan Kualitas Kerbau Melalui efisiensi Reproduksi. Prosiding Lokakarya Nasional Kerbau 2010, Universitas Padjadjaran.

Suryana,  2007. Usaha Pengembangan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. Jurnal Litbang Pertanian, Kalimantan Selatan.

Toelihere, M.R. dan K. Achyadi. 2005. Desain program pengembangan ternak kerbau di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006− 2010. Makalah disampaikan pada Forum Konsultan Peternakan. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 34 hlm.












4 komentar:

  1. Numpang Komen yah astrid,,,
    Dalam makalah ini,akan lebih baik kalau bisa ditonjolkan bagaimana upaya peningkatan populasi kerbaunya,lebih jelas dan terperinci penjelasannya.
    Kalau hanya disebutkan saja 1per1,misalnya grading up,bisa-bisa para pembaca yg bukan anak peternakan gak paham apa maksudnya.
    Trus,harus dilihat lagi,grading up itu apa ada sisi negatifnya tidak??? Ternak yang diambil untuk grading up-nya nanti dari mana saja? Bisa menyesuaikan diri di lingkungan Indonesia gak???
    ^^v

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kak.. maksih atas sarannya...

      grading-up merupakan suatu teknik yang diterapkan oleh beberapa pemulia dalam meningkatkan mutu genetik ternak yakni dengan menyilangkan. persilangan tersebut selain bertujuan pengkatan mutu genetik, juga untuk menghasilkan suatu individu baru yang dihasilkan dari darah murni sesuai dengan keinginan kita.. teknik persilangan ini yaitu setelah menghasilkan keturunan kemudian disilangkan kembali dengan salah satu tetuanya, dan seterusnya seperti itu sampai mengahsilkan galur murni yang akan ditetapkan wilayah (lokal/Indonesia) tersebut seperti pada unggas.

      namun, grading up ini mempunyai sisi negatif yakni membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. ternak yang akan diambil yaitu dari wilayah/kota (indonesia) tersbut sesuai dengan lingkungannya sehingga mudah beradaptasi..

      Hapus
  2. selamat pagi,,,saudara astrid, kerbau itu memliki estrus yang tenang, kita ketahui bahwa IB sangat menunjang dalam peningkatan kualitas ternak, kalau kerbau estrus tenang cara deteksinya bagaimana? apakah baik jika dilakukan IB?

    kerbau yang saya kenal selalu berlingkungan yang berawa atau membutuhkan kolam, apakah kerbau bisa dipelihara di daratan tanpa ada rawa atau sungai???

    BalasHapus
  3. maksih atas komennya...

    umm, melihat populasi ternak kerbau di Indonesia yang cenderung semakin menurun, maka teknologi reproduksi (IB) perlu untuk diterpkan. meskipun deteksi estrus sulit untuk dilakukan..
    tapi, ternyata dari beberapa literatur yg saya dapatkan hal tersebut dapat diminimalisr dengan melakukan sinkronisasi birahi baik dengan menggunakan sediaan Progestagen dan Postaglandin F-2 alfa.


    untuk pemliharaanya..
    perlu kita ketahui bahwa kerbau memiliki bentuk tubuh yang besar, kulit tebal dan gelap.. sehingga jika kita memelihara didaratan tanpa rawa dan sungai itu sangat menyulitkan kerbau untuk mempertahnkan hidupnya. sebab dengan bentuk tubuh dan tebal kulit dan gelap tersebut maka untuk menyerap panas sangat tinggi..

    BalasHapus