PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN TERNAK
KERBAU
DI INDONESIA
Oleh : Wa Ode Astriyani Sari K.
ABSTRAK
Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki
tubuh besar dibandingkan dengan ternak sapi. berdasarkan bangsanya terdiri dari
dua bangsa yaitu kerbau lumpur dan kerbau sungai. pada umumnya ternak kerbau
dipelihara secara tradisional. Di Indonesia terdapat 2,5 juta ekor kerbau yang
tersebar di beberapa daerah propinsi. Populasi kerbau di Indonesia cukup memprihatinkan
yaitu di tandai dengan menurunnya jumlah populasi ternak mulai tahun 90-an
hingga sekarang. pada tahun 2000-2008 jumlah ternak cenderung menurun 8,85 %
dengan rataan tingkat penurunan 1,03% per tahun. Hal tersebut terjadi
disebabkan oleh sebagian besar peternak yang tujuan beternaknya tidak jelas,
penerapan teknologi yang rendah, tidak adanya bibit jantan unggul, sistem
pemeliharaan tradisional tanpa ada perawatan, dari segi aspek reproduksi yang
lambat (lama birahi, masa bunting 10 bulan 10 hari, masa pencapaian dewasa
kelamin, birahi tenang sehingga tidak mudah dideteksi) dan pemebrian pakan yang
kurang bernutrisi dan tidak ada pengontrolan. Dari hal itu, maka sangat
perlu upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mempertahankan/melestarikan dan melindungi
populasi ternak tersebut diantaranya: 1) peningkatan mutu genetik ternak
melalui sistem grading up, 2) revitalisasi dan pengembangan kawasan
perbibitan kerbau rakyat melalui penataan kelompok, 3) pelaksanaan biosekiriti
secara tetap terutama pada kawasan perbibitan, 4) mengadakan sosialisasi di
desa terutam terhadap peternak, 5) menambah jumlah ternak pada setiap peternak.
kata kunci : kerbau, populasi, pengembangan,upaya perbaikan produksi.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan yang teramat luas,
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Kekayaan yang belum
tentu dimiliki oleh neegara lain ini perlu dilestarikan agar tidak punah. Salah
satu keanekaragaman hayati yang perlu mendapat perhatian khusus, karena
populasinya yang cenderung menurun setiap tahun adalah kerbau.
Kerbau (Babalus
bubalis) mempunyai keistimewaan lebih dibandingkan dengan sapi karena mampu
hidup dikawasan yang relatif sulit, lebih-lebih bila pakan yang tersedia
berkualitas sangat rendah (Herianti et all., 2009).
Ternak kerbau
mempunyai potensi selain sumber tenaga kerja, juga berperan penting dalam
penyediaan daging, susu, dan pupuk. Peran penting ternak kerbau semakin
strategis pada daerah-daeran tertentu di Indonesia. Di Toraja (SULSEL) ternak
kerbau dijadikan sebagai ternak pelengkap pada acara sosial keagamaan. Di beberapa
daerah seperti kabupaten Blora dan Banten, preferensi daging kerbau lebih
tinggi dimana masyarakat lebih suka mengkonsumsi daging kerbau. Lebih dari 90%
dengan sistem pemeliharaan tradisional pada skala pemilikan 2-3 ekor per rumah
tangga peternak.
Secara umum populasi kerbau di Indonesia mengalami
penurunan sejak tahun 1925 menurut Wiryosuhanto (1980) dalam Praharani L. at
all. (2009) dengan laju penurunan yang semakin besar. Berdasarkan data
statistik populasi dari DITJENAK (2008),
sejak tahun 2000 sampai 2008 populasi ternak kerbau tidak meningkat dan
cenderung menurun 8,85% dengan rataan tingkat penurunan sebesar 1,03% per tahun
selama kurun waktu delapan tahun. Penurunan populasi ini disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain rendahnya produktivitas ternak kerbau, masih
tingginya angka kematian ternak, dan pemotongan betina produktif dimana angka
pemotongan betina produktif mencapai 71,77% seperti yang dilaporkan di Nusa
Tenggara Barat (Muthalib, 2006 dalam Praharani L. at all., 2009).
Lanjut dari Putu et all., (1994) dalam Utomo et
all., (2009) menyatakan bahwa penyebab rendahnya produktivitas kerbau adalah
sifat dari ternak yang pertumbuhannya lambat, durasi periode birahi kembali
panjang, masa kebuntingannya lama (lebih panjang dari sapi) dan timbulnya gejala birahi yang sulit di deteksi. Di
samping itu disebabkan oleh terbatasnya bibit unggul, rendahnya kualitas pakan,
kurangnya modal, dan rendahnya pengetahuan petani terhadap reproduksi kerbau.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dari makalah ini adalah :
1.
Hal-hal apa
sajakah yang menyebabkan pengembangan ternak kerbau di Indonesia menurun.
2.
Upaya-upaya atau
solusi apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi ternak kerbau
di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
A. Potensi Ternak Kerbau
Pada
dasarnya ternak kerbau memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap
peternak yaitu daging, susu, pupuk, tenaga kerja, dan lain sebagainya.
Berdasarkan bangsanya terdiri dari kerbau lumpur dan kerbau sungai. Banyak laporan yang telah mengumukakan hasil
penelitian mengenai kemampuan produksi ternak kerbau. Kerbau mempunyai beberapa
keunggulan untuk ditingkatkan perannya terutama berkaitan dengan potensi
genetik dan aspek lingkungannya. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat
tinggi, terlihat dari penyebarannya yang luas, mulai dari iklim kering, lahan
rawa, daerah pegunungan, dan daerah dataran rendah.
Sistem pemeliharaan kerbau relatif lebih mudah.
Dalam usaha peternakan rakyat, kerbau dipelihara secara ekstensif terutama di
daerah pantai, dimana pemeliharaan kerbau umumnya digembalakan. Ada dua tipe
utama kerbau yakni kerbau lumpur dan kerbau sungai yang dimana masing-masing
mempunyai beberapa perbedaan baik fenotipe, karyotipe dan mitokondria DNA (FAO,
2007 dalam Hasinah 2009).
B. Gambaran Peternakan Kerbau Di Indonesia
Di Indonesia populasi
kerbau sebanyak 2,5 juta ekor yang mayoritasnya adalah kerbau lumpur, disamping
kerbau sungai/Murrah, Nili-Ravi dan Javar Abadi dalam jumlah yang dapat
dikatakan sedikit di Sumatera Utara. Bangsa – bangsa kerbau ini dimasukkan ke
Indonesia pada abad 19 dari Punjab – India, dan dipelihara oleh masyarakat
keturunan India sebagai penghasil susu. Tetapi, populasinya tidak banyak meningkat
karena faktor reproduksi dan intensitas inbreeding yang diduga tinggi.
Menurut Ridhwan
A.B Talib dan Chali Talib (2007) menyatakan bahwa sekitar 90% populasi ternak
kerbau di Indonesia terkonsentrasi di 12 propinsi yaitu Jawa Barat, Banten,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, NAD, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Lampung dan Sumatera Selatan. Di 12 propinsi ini juga hidup mayoritas
sapi potong di Indonesia. Akan tetapi ternak kerbau merupakan ternak yang mungkin
paling sedikit diteliti dan didayagunakan di Indonesia.
Tabel 1. Sepuluh provinsi di
Indonesia dengan jumlah kerbau terbanyak
Provinsi
|
Tahun
|
||||
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
|
Nanggroe Aceh Darussalam
|
409,071
|
338,272
|
371,143
|
390,334
|
280,662
|
Sumatera Utara
|
263,435
|
259,672
|
261,794
|
189,167
|
155,341
|
Sumatera Barat
|
322,692
|
201,421
|
211,531
|
192,148
|
196,854
|
Sumatera Selatan
|
86,528
|
90,300
|
86,777
|
90,160
|
77,271
|
Banten
|
139,707
|
135,041
|
146,453
|
144,944
|
153,004
|
Jawa Barat
|
149,960
|
148,003
|
149,444
|
149,030
|
145,847
|
Jawa Tengah
|
122,482
|
123,815
|
112,963
|
109,004
|
102,591
|
NTB
|
156,792
|
154,919
|
155,166
|
153,822
|
161,450
|
NTT
|
136,966
|
139,592
|
142,257
|
144,981
|
148,772
|
Sulawesi Selatan
|
161,504
|
124,760
|
129,565
|
120,003
|
130,109
|
Sumber :
http;www.ditjennak.go.id/basisdataproses.asp?yhn1=2004&thn2=2008&jt=kerbau&button=submit&rep=2&ket=populasi+nasional+%28per+provinsi%29+
Perkembangan
produksi ternak kerbau di Indonesia sangat lambat yang disebabkan oleh banyak
faktor penyebab. Salah satunya adalah efisiensi reproduksi yang rendah jika dibandingkan
dengan ternak sapi, seperti tingkat kebuntingan yang rendah, lama bunting (11
bulan) dan juga interval generasi yang lebih panjang. Upaya meningkatkan produktivitas
ternak kerbau menjadi hal yang sangat penting, bukan saja karena nilai budayanya
yang sangat tinggi dalam peradaban sebagian
masyarakat Indonesia (suku Toraja, Sumba, Flores dan Batak) yang menyebabkan harga
ternak kerbau lebih mahal dibanding sapi potong, sehingga ternak kerbau sangat
perlu untuk dikembangbiakan.
C.
Masalah Peternakan Kerbau Di Indonesia
Masalah utama peternakan ruminansia (bukan
hanya ternak kerbau) di Indonesia yang paling konservatif/tradisional hingga
kini adalah ketergantungan yang sangat besar terhadap potensi ternak itu
sendiri dan alam (sedikit sekali campur tangan manusia). Diduga telah terjadi
intensitas inbreeding yang tinggi pada kerbau Sungai (Situmorang et
al.,1990 dalam Ridhwan, at all.,
2007) dan mungkin juga pada kerbau Lumpur.
Pertimbangan ekonomi masih jauh dari pertimbangan
peternak kerbau yang ada hanya: pelihara - menjadi besar - butuh uang - jual, selesai.
Penerapan teknologi dalam pemeliharaan kerbau terbatas sekali karena masih
rendahnya orientasi ekonomi peternak. Sementara itu, ternak kerbau kebanyakan hanya
digunakan sebagai ternak kerja di wilayah persawahan, sebab itu jarak beranak menjadi
cukup panjang, akibatnya kontribusinya sebagai penghasil daging rendah. Sebagai
informasi tambahan, di Vietnam, ternak kerbau menyumbang 35% dari total produksi
daging nasional (DAO, 2000 dalam Ridhwan, et
all., 2007).
Ternak kerbau
dipelihara dengan cara yang lebih tradisional daripada ternak sapi, sehingga produktivitasnya
menjadi lebih rendah. Padahal secara potensial ternak kerbau memiliki potensi
sebagai penghasil susu, daging dan kerja yang tidak kalah daripada ternak sapi.
Semua potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat, karena
masih adanya pendapat bahwa produktivitas ternak kerbau lebih rendah dari ternak
sapi. Oleh karena itu, ke depan sudah waktunya memperlakukan ternak kerbau
setara dengan perlakuan yang diberikan terhadap ternak sapi.
Masalah lain yang
tidak dapat dihindari adalah globalisasi dan pasar bebas yang harus dihadapi
dengan program yang baik dan tertata dalam kerangka besar agribisnis nasional
yang tangguh.
Lebih lanjut di kemukakan oleh Sulaeman (2010) bahwa
faktor
penyebab menurunnya populasi kerbau di indonesia tidak berbeda jauh dengan di
negara-negara asia lainnya. Penurunan produktivitas kerbau disebabkan faktor
internal dan faktor eksternal.
1.
Faktor internal
Faktor
internal ditentukan oleh sifat atau karakteristik dari suatu jenis ternak. Pada
kerbau sifat internal yang berpengaruh terhadap kendala peningkatan populasi
adalah:
Ø Masak lambat
Kerbau
termasuk hewan yang lambat dalam mencapai dewasa kelamin (Subiyanto, 2010).
Pada umumnya kerbau mencapai pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga kerbau
mencapai dewasa kelamin pada usia minimal 3 tahun (Toilehere,1985) 2-3 tahun
(Lendhanie, 2005); 2-2,5 (Subiyanto, 2010).
Ø Lama bunting
Kerbau
akan mengandung anaknya selama 10,5 bulan, sedangkan sapi hanya 9 bulan.
Menurut Keman (2006) lama bunting pada kerbau bervariasi dari 300-344 hari
(rata-rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari. Dikemukakan pula oleh
Hill (1998) bahwa lama bunting pada kerbau lebih lama dan lebih bervariasi.
Untuk kerbau kerja, lama buntuing kerbau mesir bervarisi 325-330 hari. Hasil
penelitian Landhanie (2005) di Desa Sapala, kecamatan Danau Panggang lama
bunting kerbau rawa mencapai 1 tahun.
Ø Berahi tenang
Tanda-tanda
berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini
menyulitkan paa pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun
fenomena ini bisa diatasi dengan
menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem pemeliharaan yang
terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
Ø Waktu berahi
Umumnya
berahi pada kerbau terjada pada saat menjelang malam sampai agak malam den
menjelang pagi atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001). Menurut Hill
(1988) tanda-tanda berahi da kativitas perkawinan pada jkerbau mesir pada
umumnya terjadi pada malam hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau
betina di Indonesian sedang berada dalam kandang yang tertutup yang tidak
memungkinkan terjadinya perkawinan.
Ø Jarak beranak yang panjang
Jarak
beranak yang panjang merupakan implikasi dari sifat-sifat reproduksi lainnya.
Pada kerbau keerja jarak beranak
bervariasi dari 350-800 haru dengan rata-rata 553 hari (Keman, 2006). Menurut
Hill (1988) jarak beranak pada kerbau bervariasi dari 334-650 hari. Tyergantung pada manajemen
yang dilakukan. Menurut Ladhanie (2005) jaerak beranaka pada kerbau rawa antara
18-24 bulan.
Ø Beranak pertama
Panjang
sifat-sifat produksi lain akan berpengaruh langsung terhadap beranak pertama
pada kerbau. Hasil survei di Indonesia terutama si NAD< Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa timur, NTB dan Dulaweisi Selatan, umur pertama kali beranak
masing-masing 45,0; 49,6; 47,7; 49,1; 45,6 dan 49,2 bulan denga rata-rata 47,7 bulan
(Anonimus, 1985 yang dikutip oleh Keman, 2006), sementara itu di Brebes,
Pemalang, semarang dan Pati rata-rata umur pertama kali8 beranak,
berturut-turut adalah 44, 40, 44, dan 42 bulan (Suryanto, et al.2002 yang dikutip
Keman 2006).
Ø Faktor eksternal
Diantar
faktor eksternal, ada yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi
dan ada yang tidak berpengaruh langsung. Reproduksi adalah suatu proses yang
rumit pada semua spesies hewan. Rumit karena reproduksi tergantung Pada fungsi
yang sempurna proses-proses biokimia dari sebagian besar alat tubuh. Uvilasi,
berahi, kebuntingan, kelahiran dan laktasi, itu semua tergntung dari fungsi
yang sempurna dari berbagai hormon dan alat tubuh. Setiap abnormalitas dalam
anatomi dan fisiologi dari alat reproduksi berakibat fertilitas menurun atau
dapat menyebabkan sterilitas. (Anggorodi, 1979).
2.
Faktor eksternal
Faktor
eksternal yang berpengaruh langsung terhadap performa reproduksi adalah ;
Ø Pakan
Kontribusi
pakan sangat kuat pengaruhnya terhadap performa reproduksi. Makanan berperan
penting dalam perkembangan umum dari tubuh dan reproduktif (Tillman, et al., 1983).
Peternak
kerrbau di negara kita pada dasarnya merupakan peternak tradisional dan
merupakan kegiatan yang turun menurun sehingga pemberian pakan umumnya didapat
pada saat digembalakan. Rumput yang tumbuh di lapangan, di pematang sawahn atau
pinggir-pinggir jalan adalah pakan yang tersedia pada saat digembalakan.
Pakan
yang diberikan di kandang pada umumnya jerami kering yang kadang-kadang disiram
larutan garam dapur. Pada musim kemarau ketersediaan rumpur alam akan sangat
menurun jumlahnya dan secara langsung akan berpengaruh langsung terhadap asupan
pakan pada ternak. Pakan dengan kualitas dan kuantitas seperti ini akan
berpengaruh tidak baik terhadap performa reproduksi. Diperparah lagi oleh tugan
yang harus dilakukan pada saat musim mengolah sawah. Meskipun salah satu
keunggulan kerbau adalah mampu memamfaatkan pakan dengan kualitas rendah, namun
untuk mendapatkan performa reproduksi yang baik memerlukan makanan yang cukup,
baik kualitas maupun kuantitas.
Ø Sosial budaya
Beberapa
di daerah di Indonesia yang secara sosial budaya berkaitan dengan kerbau
menunjukkan populasi kerbau yang tinggi. Keterkaitannya bisa berupa dalam adat istiadat atau kebutuhan tenaga
kerja. NTB, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan keterkaitannya lebih pada adat istiadat yang
turun temurun. Di Sumatera Barat, kerbau mempunyai arti sosial yang sangat
khas.
Rumah
adat dan perkantoran pemerintah mempunyai bentuk atap yang melengkung yang
melambangkan bentuk tanduk kerbau.
Diduga kata “minangkabau” berasal dari “menang kerbau” (Hardjosubroto, 2006).
Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian sepeti saur matua dan mangokal
hili. Bagian dari rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta
syukuran adat yang disertai pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau juga dilakukan
pada saat upacara perkawinan, horha bius (acara penghormatan terhadap leluhur,
dan pendiri rumah adat (Susilowati, 2008).
D.
Upaya-Upaya Untuk Pengembangan Populasi Ternak Kerbau
Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi
kerbau rawa maupun sungai secara berkelanjutan secara umum yaitu dengan melakukan
perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan ternak kerbau, yang meliputi: 1)
peningkatan mutu genetik melalui grading up, 2) revitalisasi dan
pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat melalui penataan kelompok, dan 3)
pelaksanaan biosekuriti secara tepat terutama pada kawasan perbibitan.
Pengadaan
dan pengembangan bibit kerbau dilakukan melalui seleksi dan afkir atau culling
secara sistematis, dan menyebarluaskan bibit unggul hasil kajian dan telah
memperoleh justifikasi dari lembaga berwenang, baik di pusat maupun daerah.
Program pemuliabiakan untuk memperoleh bibit unggul dilakukan melalui: 1)
seleksi peningkatan populasi dan produktivitas, 2) persilangan secara
sistematis dan terarah, dan 3) program pencatatan atau recording system terutama
di lokasi yang diarahkan untuk pembibitan dan sertifikasi bibit (Toelihere dan
Achyadi 2005).
Selain
upaya pemacu diatas juga sebaiknya perlu diadakan sosialisasi kepada peternak
kerbau bahwa pemberian input bagi ternak kerbau merupakan suatu invetasi yang
dapat memberri keuntungan. Salah satu usaha perlu dijalankan adalah melakukan
tindakan reward kepada pemilik kerbau melalui kontes ternak kerbau, sehingga
mendorong untuk memiliki kerbau yang baik pada skala nasional maupun regional.
Dengan demikian harga jual kerbau meningkat.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas
maka dapat dismpulkan bahwa :
1)
Ternak
kerbau sangat potensial untuk dikembangkan untuk mendukung program kecukupan
daging khususnya di Indonesia mengingat pentingnya gizi untuk tubuh manusia.
2)
Masalah-masalah
yang menyebabkan pengembangan ternak Kerbau di Indonesia menurun adalah tujuan
pemeliharaan yang dilakukan peternak tidak jelas, pemeliharaan secara
tradisional, aspek reproduksi yang rendah atau lambat (masak lambat, lama
birahi, umur kebuntingan, jarak antar beranak, umur kawin, dsb.), aspek
eksternal seperti pemberian pakan yang tidak di control, inbreeding.
3)
Upaya
atau inovasi yang harus dilakukan untuk mengkatkan populasi ternak kerbau di
Indonesia khususnya adalah melakukan perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan
ternak kerbau, yang meliputi: 1) peningkatan mutu genetik melalui grading
up, 2) revitalisasi dan pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat
melalui penataan kelompok, dan 3) pelaksanaan biosekuriti secara tepat terutama
pada kawasan perbibitan. Selain itu juga perlu diadakan sosialisasi kepada para
peternak kerbau bahwa kerrbau merrupakan investasi yang menguntungkan di masa
depan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bustami dan Susilawati E., 2007. Sistem Pemeliharaan Ternak
Kerbau Di Propinsi Jambi. ProsidingLokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi.
Hamdan,
A., E.S. Rohaeni, dan A. Subhan. 2006. Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau
rawa di Kalimantan Selatan. hlm.170−177. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha
Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4−5 Agustus
2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerja sama dengan
Direktorat
Ridwan A. B. Thalib dan Chali Talib, 2008. Peran dan Ketersediaan Teknologi Pengembangan
Kerbau Di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Sulaeman, 2010. Percepatan Peningkatan Populasi dan Kualitas
Kerbau Melalui efisiensi Reproduksi. Prosiding Lokakarya Nasional Kerbau 2010,
Universitas Padjadjaran.
Suryana, 2007. Usaha
Pengembangan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. Jurnal Litbang Pertanian,
Kalimantan Selatan.
Toelihere,
M.R. dan K. Achyadi. 2005. Desain program pengembangan ternak kerbau di
Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006− 2010. Makalah disampaikan pada Forum
Konsultan Peternakan. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama
dengan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 34 hlm.